MENGAPA HANYA BICARA HAL-HAL Generik (UMUM) KALAU TAHU YANG Spesifik (KHUSUS)?

25 March 2013 at 08:35 Leave a comment

Promosi sosial yang lagi marak di negeri ini memiliki kategori atau sifat cenderung untuk  menyampaikan  hal-hal yang generik/umum saja, meninggalkan yang spesifik/khusus. Apakah itu  memang strategi atau karena tidak mengetahui yang khusus? Kalau dimaksud sebagai strategi, apa manfaat strategi macam itu dan kalau tidak mengetahui yang khusus, mengapa tidak mendalaminya dulu?

Pertanyaan di atas lebih disebabkan karena  melihat fenomena umat Islam yang mayoritas di negeri ini  sepertinya malu bicara tentang Islam secara totalitas. Mengapa berperilaku seperti itu, apa karena yang bersangkutan memang  tidak tahu isi ajaran Islam secara terinci sehingga bisanya  hanya bicara garis-garis besar saja? Atau disengaja sebagai taktik/strategi berdakwah mengutamakan substansi bukan bendera, atau supaya memperoleh klien yang lebih banyak lagi? Apa benar begitu cara berdakwah dalam tuntunan Islam, menghapus identitas keIslamannya dan sekedar menyampaikan beberapa substansi yang generik atau umum? Apa yang dikhawatirkan jika menyatakan dengan tegas bahwa substansi yang diajarkan memang bersumber Islam supaya yang didakwahi/diceramahi lalu bisa melakukan pendalamam sendiri atau mengecek kebenaran isi dakwah/promosinya dari sumber aslinya? Mengapa yang bersangkutan tidak takut akan murka Allah  yang akan diterimanya karena menyembunyikan  identitas Islam dan berpotensi disalah fahami bahwa substansi yang disampaikan itu bersumber dari semua agama dan semua ajaran, bukan khusus bersumber agama Islam saja, bukan sesuatu yang hanya bersifat umum dan tidak memerlukan penjabaran menjadi lebih spesifik sehingga bersifat tuntunan operasional?

Dalam khazanah dunia Islam dikenal istilah ‘taqiyah’ atau menyembunyikan identitas yang kini banyak di salah artikan dan diselewengkan maknanya. Di masa  awal kenabian Rasulullah, sewaktu umat Islam masih teramat lemah kondisi sosial politiknya, ‘beberapa’ (satu-dua) pemeluk Islam sewaktu di tengah penyiksaan dan eksekusi mau dibunuh dia lalu menyatakan keluar dari Islam dan ikut melecehkan nabi. Dalam al Qur’an sikap seperti itu ternyata masih bisa diampuni Allah SWT. Tapi perilaku tersebut kan di saat pilihan mati/hidup, di tengah penderitaan pribadi yang luar biasa, bukan pilihan karena sekedar ‘ancaman’ tidak mendapat jabatan atau tidak dipilih orang dalam pemilu, atau  karena khawatir dituduh fundamentalis, ekstrimis, fanatik? Sungguh lemah qualitas pribadinya, sungguh lemah ‘karakternya’ sebagai individu jika bersikap  taqiyah dalam berdakwah.

Mari berikut ini direnungkan. MENGAPA HANYA MENYEBUT BERTUHAN JIKA YANG DIMAKSUD BERAGAMA, MENGAPA HANYA MENYEBUT BERAGAMA KALAU YANG DIMAKSUD BERISLAM? Bukankah bertuhan itu teramat variatif pilihannya sehingga bisa membuat orang tersesat memilih tuhan yang salah? Bukankah beragama itu juga masih teramat banyak variasinya sehingga orang masih bisa salah jalan mengacu substansi tuntunan agama yang berbeda dengan yang dimaksudkan?

Kemarin saya diminta bicara di forum Alumni ESQ di mana training2 ESQ dikenal masyarakat tidak spesifik menyebutkan diri sebagai training Islam. Namun judul materi yang dimintakan pada saya adalah “Membangun Keluarga Sakinah dan Pribadi Muslim Berkarakter” . Saya tercenung mendapatkan tugas itu, namun dengan berprasangka baik saya lalu mengambil kesimpulan bahwa penyelenggara acara tersebut tentunya ingin saya masuk ke arena yang lebih spesifik (Islam) setelah alumni mendapat materi generik dari training ESQnya. Dengan berpedoman seperti itu lalu saya uraikan bagaimana Visi Agama Islam tentang makna  operasional PRIBADI BERKARAKTER  dan KELUARGA SAKINAH yang pasti berbeda dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama lain atau faham lain. Saya tegaskan pada awal ceramah saya bahwa ‘pribadi berkarakter’ itu bisa saja  dimiliki orang yang TIDAK BEAGAMA bahkan bisa dimiliki oleh orang yang TIDAK BERTUHAN. Jumlah penduduk Amerika Serikat yang tidak beragama menurut hasil penelitian ‘Pew Centre’ terus bertambah mencapai 20% yang lima tahun sebelumnya hanya sekitar 15%, luar biasa.  Oleh sebab itu yang disebut sebagai ‘PRIBADI BERKARATKTER’ itu  masih berstatus ‘GENERIK’ belum ‘SPESIFIK’. Pribadi berkarakter itu bisa POSITIF menguntungkan orang lain, masyarakat, bangsa-negara,  dan peradaban manusia, namun bisa juga NEGATIF merugikan dan merusak orang lain,  masyarakat, bangsa-negara, dan  peradaban manusia.

Orang Islam wajibnya menyebut identitas dirinya sebagai MUSLIM, mengajarkan cara hidup yang Islami, bercita-cita membawa kehidupan pribadi, keluarga, dan bangsa-negara secara Islami MELALUI METODA yang diajarkan Islam (Syariat) yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah, bukannya malah membuang identitas keislaman (apapun alasannya kecuali sedang ber’taqiyah’ karena  diancam hukuman mati oleh musuh Islam), dan mengajarkan nilai dan tuntunan  operasional kehidupan yang generik/umum belaka.

Silahkan di simak isi ceramah saya di forum alumni ESQ tersebut dalam artikel tersendiri di blog ini (Power Point).

Indonesia, ujung Maret 2013.

Entry filed under: Pemikiran. Tags: , , , , , , , , , .

Paradigma Salah yang Merusak Peradaban: “AGAMA ITU RANAH PRIBADI/RITUAL, NEGARA/PEMERINTAH ITU RANAH PUBLIK” MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH dan PRIBADI MUSLIM BERKARAKTER

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


"tatkala mayoritas penduduk maju, maka minoritas terikut maju (TIDAK SEBALIKNYA), dan negara pun menjadi kokoh-kuat..."

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 67 other subscribers

Recent Posts

Archives

Calendar

March 2013
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Stats

  • 138,370 hits

Feeds